Menjadi ibu rumah tangga yang baik, taat kepada suami dalam hal yang baik, mendidik anak-anak agar menjadi shalih, menjaga harta suami, merampungkan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya, jelas merupakan amalan berpahala besar. Meski perannya sering tak dianggap dan dikesampingkan, tapi peran seorang ibu rumah tangga sangat signifikan. Tak dianggap? Ya, benar. Bukankah anda sering mendengar pertanyaan ini: "Kerja apa, bu?" Anda jawab, "Di rumah aja." Di timpali, "Oh, nggak kerja ya. Kirain ada sambilan kerja apa gitu." Lihat? Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang seabrek dan seperti tak ada habisnya itu dianggap sebagai "kerja". Jika anda "hanya" menjadi ibu rumah tangga, anda tidak disebut "bekerja". Menyakitkan bukan?
Ah, lupakan saja. Itu hanyalah anggapan orang-orang yang tidak mengerti. Yang terpenting, yakinlah bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga bukanlah amal shalih yang sepele di sisi Allah. Mustahil pekerjaan berat yang memeras tak hanya keringat tapi juga memeras perasaan dan pikiran itu hanyalah amal yang dipandang sebelah mata. Kecuali dilakukan karena riya' dan pelakunya bukanlah mukminah, amal sebesar itu jelas bukan amal yang ringan timbangannya.
Nah, meskipun dengan melakukan pekerjaan rumah tangga, seorang ibu bisa meraup pahala, ternyata ada faktor pengali yang bisa melipatgandakan pahala pekerjaan tersebut. Apa itu? Simak kisah Asma bin Yazid berikut:
Suatu ketika Asma' binti Umais menemui Rasulullah dan bertanya, Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan dari seluruh wanita muslimah yang di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah mengutusmu bagi laki-laki dan wanita. Kami beriman kepada anda dan membai'at anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum laki-laki. Kamilah yang mengandung anak-anak meraka. Akan tetapi kaum laki-laki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat Jum'at, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah menoleh kepada para sahabat dan bersabda, "Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?" Para sahabat menjawab, "Benar, kami belum pernah mendengarnya ya, Rasulullah!"
Kemudian RAsulullah bersabda, "Kembalilah wahai Asma' dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu, bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya untuk mendapat keridhaan suami, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki."
Kembalilah Asma' sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah. (Syu'abul Iman 18/253)
Faktor pengali dan pelipat gandanya adalah suami yang shalih. Dengan memiliki suami yang shalih, anda akan ikut mendapat pahala dari amal-amal shalih yang dilakukannya di luar rumah, sementara anda menjaga harta dan anak-anaknya. Semakin banyak dan besar amal shalih yang dilakukan suami, semakin besar pula "bagi hasil" yang anda terima. Kalau boleh dibilang, suami shalih itu seperti investasi pahala yang sangat menjajikan bagi isteri. Isteri tidak bekerja tapi mendapat bagian labanya, tidak ikut melakukan amal shalih langsung; berjihad, shalat jamaah, berdakwah, dan sebagainya, tapi catatan pahalanya ikut penuh karena amal suaminya.
Lantas bagaimana cara mendapatkan suami yang shalih? Ada dua cara;
Pertama, bagi muslimah yang belum menikah, jadikan karakter "shalih" sebagai karakter penentu diterima-tidaknya calon suami.
Memilih pasangan yang shalih agar beruntung di kemudian hari bukan hanya berlaku bagi lelaki yang ingin mencari isteri. Justru, kebutuhan wanita terhadap keshalihan pasangan jauh lebih tinggi daripada lelaki. Kasar-kasarnya, lelaki yang mendapat, pasangan yang tidak shalihah, mudah saja menceraikan isterinya. Lha kalau wanita? Meminta cerai bukanlah perkara mudah bagi wanita, apalagi jika sudah punya anak. Tidak sedikit isteri yang lebih memilih menahan derita daripada berpisah dari suami yang karena ketidakshalihannya sering menyakitinya.
Kedua, bagi yang sudah menikah, bantulah suami agar menjadi suami yang shalih. Ini juga demi kepentingan anda. Untuk urusan pahala, kita memang harus jadi orang 'egois'. Semua kebaikan dan jasa yang kita lakukan untuk orang lain bukan derma tanpa pamrih. Harus ada pamrih yakni demi mendapat pahala Allah Ta'ala. Termasuk saat berusaha membuat suami menjadi lelaki yang shalih. Semua ini utamanya demi kepentingan pribadi, kemudian demi suami dan keluarga.
Jadilah anda seperti ibu rumah tangga berpenghasilan ganda. Seperti ibu-ibu kreatif yang selain bisa mengerjakan seluruh tugas kerumahtanggaan, dia masih punya bisnis yang berjalan dan menghasilkan uang. Anda bersuami shalih pun demikian, tetap bisa mengerjakan tugas kerumahtanggan dan mendapat pahalanya juga masih mendapat kucuran pahala dari suami yang anda jaga rumah dan hartanya. Luarbiasa bukan?
Sebaliknya, jika suami anda tidak shalih dan keluar rumah hanya untuk bermaksiat, apa yang akan anda dapatkan dari lelaki semacam itu? Oleh itu, jangan tunggu lagi, segera bikin program untuk meningkatkan keshalihan suami. Semoga anda menjadi isteri (atau calon isteri) yang berpenghasilan pahala yang tinggi.
Aamiin. Wallahul musta'an.
ar-risalah